MEMBUDAYAKAN LITERASI DI SEKOLAH
Membudayakan Literasi di Sekolah
Oleh Musa Ismail
Sudah saatnya bangsa ini menyadari bahwa literasi itu sangat penting. Bangsa yang memiliki budaya literasi tinggi berperan penting dalam membentuk daya saing. Celakanya, menurut kajian PISA (Programme for International Student Assessmen), budaya literasi siswa Indonesia sangat rendah. Hal ini sesuai sekali dengan pandangan Eldred (2013) dan Stromquist (2009), literasi merupakan alat bagi pemberdayaan anak bangsa. Selanjutnya, Kern (2006:16) menjelaskan bahwa literasi adalah kegiatan yang melibatkan mencipakan dan menginterpretasi makna melalui teks yang terkondisi oleh situasi budaya, historis, dan sosial (dalam Kemendikbud, 2015:6). Karena kedasaran ini, Mendikbud telah meluncurkan Kegiatan Literasi Sekolah. Kegiatan ini dijadwalkan selama 15 menit sebelum pembelajaran pertama dimulai.
Riau menjadi salah satu provinsi sasaran Gerakan Literasi Sekolah. Kegiatan ini telah diluncurkan oleh Mendikbud, Anies Baswedan pada 18 Agustus 2015. Gerakan bertema Bahasa Penumbuh Budi Pekerti ini dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Tujuan gerakan ini untuk membiasakan dan memotivasi siswa agar mau membaca dan menulis guna menumbuhkan budi pekerti. Untuk mewujudkan kegiatan mulia ini, telah dilaksanakan pelatihan sebagai pelatih/instruktur 32 guru bahasa Indonesia Provinsi Riau di Pekanbaru, 30 November – 3 Desember 2015 yang ditaja oleh Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud.
Pencanangan kegiatan ini sangat mulia. Kemuliaan itu terletak pada tujuan yang hendak digapai. Upaya membudayakan membaca dan menulis di lingkungan sekolah merupakan subjek yang tepat. Di lingkungan sekolah, budaya ini patut ditumbuhkembangkan agar masyarakat kita memiliki kemampuan daya saing dengan bangsa lain. Dalam kaitan ini, kita dapat mengatakan bahwa kita masih belum madani dan modern dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tentu disebabkan kita memiliki budaya literasi yang masih rendah, terutama di sekolah.
Kegiatan ini tentu memiliki latar belakang tersendiri. Latar belakang itu tentu saja berkaitan dengan tingkat kemampuan bangsa Indonesia dalam hal literasi. Pertama, penelitian PISA menempatkan kemampuan membaca siswa Indonesia pada urutan ke-57 dari 65 negara. Kedua, menurut Republika (15/12/2014), hanya 0,4 persen siswa yang memiliki kemampuan literasi tingkat keempat. Selebihnya, nilai literasi siswa Indonesia di bawah tingkat ketiga, bahkan di bawah tingkat kesatu. Ketiga, data statistik UNESCO 2012 menyebutkan bahwa indeks minat baca di Indonesia cuma 0,001. Ini berarti bahwa hanya ada satu orang yang memiliki minat baca dari 1.000 orang di Indonesia. Keempat, sastrawan Taufik Ismail pernah mengatakan bahwa bangsa kita ini rabun membaca dan lumpuh menulis. Ini merupakan suatu bukti bahwa bangsa dan negara ini perlu upaya masih untuk meningkatkan kemampuannya dalam hal literasi. Jadi, kemampuan membaca yang rendah akan berakibat negatif pada kemampuan menulis.
Bangsa dan negara yang sudah membudakan literasi merupakan bangsa dan negara yang madani. Bangsa dan negara demikian juga bisa dikatakan modern. Negara kita saat ini membuka mata betapa pentingnya literasi yang harus digerakkan dari sekolah. Melalui pemerintah dan pemangku kepentingan di bidang pendidikan, kurikulum kita saat ini menggunakan asas literasi. Kehadiran kurikulum berasas literasi ini setidaknya berfungsi sebagai pemicu dalam pembelajaran di kelas. Pembelajaran di kelas menjadi fokus utama untuk membudayakan literasi terhadap bangsa ini.
Budaya literasi bangsa ini sebenarnya sudah tumbuh. Budaya ini sudah kita miliki sejak berabad-abad silam meskipun semuanya itu dalam kondisi perih yang berkepanjangan. Bukti sudah tumbuhnya budaya literasi ini adalah banyaknya naskah kuno bangsa ini yang tersebar hingga ke mancanegara. Tumbuhnya budaya literasi para pendahulu kita itu patut kita bangun kembali di zaman yang lebih mendukung kegiatan ini. Untuk menumbuhkembangkan budaya literasi ini di sekolah, ada beberapa kegiatan yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah. Pertama, membaca buku-buku fiksi dan atau nonfiksi yang disesuaikan dengan jenjang pendidika. n dan kejiwaan siswa. Kedua, mentranformasi materi pembelajaran ke dalam bentuk karya sastra (puisi/prosa/drama). Ketiga, membaca dan menulis ringkasan dari suatu bacaan. Keempat, untuk PAUD/TK/SD kelas awal, kegiatan yang bisa dilakukan, yaitu menyimak cerita pembentuk budi pekerti yang dibacakan oleh guru dengan memerhatikan aspek estetika. Teknis kegiatan ini bisa dilakukan secara berkesinambungan. Kegiatan-kegiatan ini dikemas secara cermat agar waktu 15 menit dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Persoalan yang paling mendasar dalam literasi adalah ketersediaan teks. Teks merupakan objek prioritas sebagai perangsang pembudayaan literasi di sekolah. Kelengkapan bahan-bahan bacaan di perpustakaan sekolah masih dipertanyakan. Namun, ketersediaan teks dapat disediakan oleh pihak sekolah, khususnya guru yang kreatif. Teks bukan cuma dari buku, tetapi juga bisa dari koran, majalah, atau bisa kita buat sendiri. Teks berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari. Karena itu, pada dasarnya semua orang bisa membuat teks, termasuk siswa. Ketika siswa menyusun teks, guru perlu melakukan bimbingan secara intensif.
Upaya membudayakan literasi di sekolah dapat dilakukan oleh semua guru. Semua guru, bukan hanya guru mata pelajaran bahasa Indonesia, dituntut menjadi motivator kegiatan literasi di sekolah, terutama bagi siswa. Jika kegiatan literasi sudah membudaya di sekolah, maka akan terbentuk generasi berkarakter saintifik. Pembudayaan literasi sangat berkaitan dengan kegiatan ilmiah. Dengan pembudayaan literasi yang diprogramkan secara rutin dan berkesinambungan, sadar atau tidak, akan membentuk bangsa Indonesia yang berorientasi saintifik.
Kegiatan literasi pasti berkaitan dengan bahasa. Bahasa merupakan unsur terpenting dalam memahami ilmu. Ilmu apa pun tidak/kurang bisa kita pahami jika bahasa tidak dipahami dengan baik. Para siswa akan sulit memahami konsep-konsep matematika, fisika, kimia, dan sebagainya kalau bahasanya masih kacau. Mereka juga tidak akan bisa menguasai ilmu jika tidak bisa mamahami makna bahasanya. Karena itu, bahasa merupakan aspek strategis dalam membentuk karakter budi pekerti seseorang. Atas dasar inilah, kita semua harus menyadari bahwa keberadaan bahasa Indonesia sangat penting dalam menghela nafas ilmu. Semoga saja pihak sekolah bisa menghidupkan dan membudayakan literasi di lingkungannya sehingga akan tercipta bangsa madani dan modern.***
Musa Ismail adalah sastrawan, penulis, dosen STAIN Bengkalis, dan ASN di Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkalis. Setakad ini karyanya antara lain 4 buku kumpulan cerpen, 2 novel, dan 1 esai sastra-budaya.