SEKOLAH GENERASI DIGITAL
Sekolah Generasi Digital
Oleh Musa Ismail
(Kasi PD dan PK Disdik, Sastrawan, Dosen STAIN, Penulis)
Saat ini, tercatatsebanyak 165.000 SDhingga SMA.Ada 4.500 universitas. Jumlah siswa total di negara ini sebanyak 45 juta siswa. Siswa-siswa ini semua bisa dikategorikan sebagai generasi yang fasih digital dan internet (digital native).Tentu saja mereka lebih menguasai teknologi informasi daripada generasi sebelumnya yang masih konvensional. Keberadaan dan penggunaan teknologi informasi dalam suatu institusi pendidikan kini diposisikan sebagai penentu kualitas pendidikan. Menurut catatan lembaga riset Gardner, pada 2020 mendatang sekitar 60% lembaga pendidikan tinggi dunia akan mentransformasikan seluruh sistemnya menjadi online.Bagaimana di negeri dan di negara kita?Pakar pendidikan Barat, Prensky, generasi digital native adalah mereka yang sejak lahir telah dilingkupi oleh berbagai macam peralatan digital seperti komputer, videogame, digital, music player, kamera video, telepon seluler, serta berbagai macam boneka dan perangkat yang khas era digital. Mereka sangat fasih dengan bahasa teknologi digital dan internet. Kalau demikian adanya maka sekolah harus merevolusi diri.
Berdasarkan fenomena,anak usia sekolah dewasa ini sangat asyik dengan media jejaring sosial, games online,chatting, dan sebagainya.Hal ini seharusnya menjadi fokus utama bagi para penyelenggara pendidikan dan pemerintah. Akankah kita mempertahankan kondisi sekolah dengan fasilitas apa adanya atau menggesa sekolah yang ada relevansinya dengan ruh kepribadian siswa saat ini? Model sekolah seperti apa yang cocok untuk mereka yang akrab dengan peralatan digital? Guru seperti apa yang harus mengimbangi kefasihan teknologi mereka? Pembelajaran seperti apa pula yang layak? Manajemen sekolah seperti apa yang paling pas? Persoalan ini menjadi sangat penting untuk digesa sebagai suatu tantangan masa depan.
Nah, bagaimana kesiapan yang harus dilakukan? Ada beberapa hal penting yang sejatinya dipersiapkan. Pertama, mempersiapkan komponen inti.Kedua, kesiapan para sumber daya manusia (brainware). Semua sumber daya manusia yang terlibat ingin membangun sekolah di era digital (guru, kepala sekolah, dan tata usaha, bahkan siswa) dituntut bergerak menimba pengetahuan dasar (knowledge base). Era digital ini, masih banyak guru, kepala sekolah, dan tata usaha (karyawan) yang asing dengan komputer dan internet. Meminjam istilah Nurpit Junus, masih banyak guru mengidap penyakit TBC (Tak Bisa Computer). Tentu saja hal ini bisa diatasi dengan berbagai pelatihan, niat yang kuat, dan hasrat untuk berubah. Kesiapan sumber daya manusia di sekolah merupakan hal yang sangat strategis untuk membangun sekolah handal di era digital. Sumber daya manusia inilah nantinya yang akan bertindak sebagai manajer dan arsitekturuntuk mengelola berbagai informasi.
Ketiga, kesiapan dan kemauan pemerintah. Kemampuan dan kesiapan sekolah dan sumber daya manusia di sekolah dipengaruhi oleh kesiapan dan kemampuan pemerintah untuk mewujudkannya. Bantuan dari pemerintah untuk menyediakan peralatan akan menjadi salah satu solusi untuk mewujudkan kemampuan sekolah di era digital. Penyediaan peralatan komputer dan jaringan internet dengan rangkaian multimediaakan memperkuat eksistensi sekolah sebagai tempat dan organisasi pelayanan dan produksi jasa. Sebelum jaringan internet mengglobal, kita masih kesulitan. Namun, dengan sistem modem dan wifiyang meluas di era digital ini, kesulitan tersebut semakin teratasi. Kita begitu mudah terhubung secara online tanpa batas ruang dan waktu.
Perkembangan teknologi, khususnya TI dapat mengubah cara pandang, cara kerja, dan implementasi dalam bidang pembelajaran. Hal ini ditandai dengan munculnya istilah-istilah baru seperti e-Book, e-learning, e-commerce,dan cyber school. Akar kata cyber adalah cybernetics, yang artinya tentang “cara untuk mengendalikan (robot) dari jarak jauh”, jadi kata cyber berkaitan dengan “pengendalian” dan “jarak jauh”. Oleh karena itu, cyber school terkait dengan hal lain seperti distance learning, cyber schools, virtual school, e-education, e-classes, dan bentuk kelas jarak jauh lainnya yang memberikan penghargaan atau pujian kepada pesertanya. Namun, dalam pembelajaran di sekolah, bukan hanya berkaitan dengan pembentukan pengetahuan dan keterampilan.Mintzberg dalam bukunya “Managers Not MBAs” yang cukup menghebohkan kalangan pengelola bisnis sekolah di dunia. Mintzberg menyebutkan, umumnya sekolah hanya sebatas membentuk pengetahuan dan keterampilan, tetapi jarang yang sampai membentuk perilaku. Padahal, perilaku memegang peranan penting sebagai penentu penampilan yang luar biasa (superior performance) dalam bekerja, apalagi sebagai manajer. Sementara pengetahuan dan keterampilan lebih hanya bersifat minimum requirements untuk berprofesi di bidang tertentu. Jadi, ketiganya, pengetahuan, keterampilan, serta perilaku, adalah komponen yang tidak bisa dipisahkan dalam membentuk kompetensi. Secara sederhana kompetensi yang diperlukan oleh seorang manajer adalah berani membuat keputusan dan bertindak, berani membuat inovasi dan pembaharuan, mampu memanajemeni orang, serta tentunya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan bidangnya. Maka dari itu, ada tiga komponen yang membentuk kompetensi, yaitu (1) knowledge atau pengetahuan, (2) skills atau keterampilan, serta (3) attitute atau sikap / perilaku.
Penampilan sekolah kita saat ini masih berpakaian abad ke-20. Sementara itu, pergerakan perubahan dunia semakin tidak terkendali di abad ke-21 ini. Cara berpikir dan berprilaku para siswa pun berubah. Sekali lagi, percepatan perubahan tersebut karena pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai dampak dari sedikit ilmu yang diberikan Tuhan.Dengan kenyataan demikian, akankah kita berkutat pada sistem manajemen sekolah konvensional? Mari kita renungkan pandangan Umar bin Khattab, ”Didiklah anak-anak kita sesuai dengan zamannya.” Hal ini dijelaskan kembali olehpakar pendidikan terkenal, Jhon Dewey,’’Jika kita mengajar anak-anak kitasebagaimana yang kita lakukan kemarin, sama saja kita merampas masa depanmereka (If we teach our children as we did yesterday, we rob them of the future).***
Musa Ismail dilahirkan di Pulau Buru Karimun, 14 Maret 1971. Karyanya adalah kumpulan cerpen "Sebuah Kesaksian" (2002), esai sastra-budaya "Membela Marwah Melayu" (2007), novel "Tangisan Batang Pudu" (2008), kumpulan cerpen "Tuan Presiden, Keranda, dan Kapal Sabut" (2009), kumpulan cerpen "Hikayat Kampung Asap" (2010), novel "Lautan Rindu" (2010), kumpulan cerpen "Surga yang Terkunci" (2015), dan novel ”Demi Masa” (2017). Pernah meraih Anugerah Sagang kategori buku pilihan (2010) dan peraih Anugerah Pemagku Prestasi Seni Disbudpar Provinsi Riau (2012). Puisi-puisinya terjalin dalam beberapa antologi karya pilihan harian Riau Pos, antologi "Setanggi Junjungan" (FAM Publishing, 2016), antologi puisi HPI "Menderas sampai ke Siak" (2017), dan "Mufakat Air" (2017).