Kamis, 18 Januari 2018
11:46:44 Wib
Dibaca : 2793 Kali
GURU MASA KINI
GURU MASA KINI (Renungan Tahun Pelajaran Baru)
Guru Masa Kini
(Renungan Tahun Pelajaran Baru)
Oleh Musa Ismail
(ASN di Dinas Pendidikan Bengkalis)
Guru Indonesia masa kini merupakan guru yang sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013 (K-13). Ibarat memasak, K-13 sudah melalui beberapa proses. Sejak pertama kali diluncurkan pada 2013, kurikulum ini mengalami perbaikan demi perbaikan. Tidak hanya perbaikan, K-13 pun sempat diberhentikan sementara karena pertimbangan berbagai hal pula. Yang jelas, K-13 mengalami proses seperti memasak itu di tangan tiga Mendikbud, yaitu M. Nuh, Anies Baswedan, dan Muhajir Effendi. Proses demi proses untuk penyempurnaan itu memunculkan efek domino pada standar isi, standar proses pembelajaran, dan kompetensi guru. Guru merupakan sosok juru masak utama untuk mengemas kurikulum ini sebagai masakan yang siap saji. Sedap atau tidaknya masakan tersebut akan berakibat kepada siswa sebagai raja utama yang mesti dilayani. Sehebat apa pun kurikulum tidak akan bermakna jika guru kurang memberikan sentuhan didaktis-inovatif. Sentuhan didaktis-inovatif ini sejatinya dilakukan dalam proses administratif dan implementatif di kelas.
Dalam pernyataan, kita sering mendengar bahwa guru merupakan ujung tombak. Guru bukanlah ujung tombak. Eksistensi guru masa kini adalah pemegang tombak. Guru merupakan pengendali sarana/tombak untuk mengenai sasaran yang akan dicapai. Eksistensi guru di sini bukanlah sebagai pengekang kreativitas siswa, tetapi guru lebih banyak berperan sebagai pembimbing. Di tangan gurulah, tombak akan diarahkan. Tombak merupakan simbol dari keberadaan siswa yang kompleks dengan keunikannya masing-masing. Kemampuan guru mengarahkan dan melemparkan tombak akan memicu ketepatan tombak untuk melesat pada sasarannya. Dalam hal ini, Kahlil Gibran mengibaratkan guru dan siswa sebagai busur dan anak panah dalam puisinya berjudul Anakmu Bukanlah Milikmu: Kaulah busur/Dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur. Umar bin Khattab menegaskan, ”Didiklah anak-anak kita sesuai dengan zamannya.” Apa yang telah ditegaskan Gibran dan Khattab, oleh Jhon Dewey diulang kembali dengan redaksi berbeda, yaitu ’’Jika kita mengajar anak-anak kita sebagaimana yang kita lakukan kemarin, sama saja kita merampas masa depan mereka (If we teach our children as we did yesterday, we rob them of the future).
Bukan hanya kurikulum yang akan selalu diperbarui dan diperbaiki. Cabaran zaman pun menuntut guru untuk memperbarui (update) diri. Upaya memperbarui diri di kalangan guru ini sangat penting. Hal ini dikarenakan guru berhadapan dengan generasi digital natif (digital native generation). Pakar pendidikan Barat, Prensky mengatakan bahwa generasi digital natif adalah mereka yang sejak lahir telah dilingkupi oleh berbagai macam peralatan digital seperti komputer, videogame, digital, music player, kamera video, telepon seluler, serta berbagai macam boneka dan perangkat yang khas era digital. Mereka sangat fasih dengan bahasa teknologi digital dan internet.
Saat ini, dalam beberapa tahun, semua akan terlihat usang (konvensional=ketinggalan zaman). Penyebabnya adalah pesatnya kemajuan teknologi informasi melalui dunia digital. Dengan kenyataan ini, bukan hanya sekolah, tetapi guru pun harus merevolusi diri. Revolusi diri ini bisa saja dilakukan melalui jalur pengembangan keprofesian berkelanjutan. Jalur ini bisa dilakukan melalui komunitas mata pelajaran yang saat ini sedang dikembangkan Kemdikbud untuk mengaktifkan kegiatan MKKS, MGMP, dan KKG di setiap jenjang pendidikan. Komunitas mata pelajaran ini dikembangkan dengan basis daring (dalam jaringan). Para guru yang tidak memperbarui diri dengan kondisi ini akan mengalami kendala. Kondidi seperti ini tidak bisa dielak karena adanya perbedaan generasi dan perkembangan zaman dunia pendidikan dalam sistem kebudayaan. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara ketika merumuskan pengertian kebudayaan. Menurutnya, kebudayaan merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yaitu alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Ini bermakna—mau tidak mau—para guru dituntut mampu berjuang antara pengaruh alam dan zaman. Jika tidak mampu, guru akan mengalami berbagai kesukaran dalam mendidik generasi digital natif.
Nah, apa yang harus dilakukan para guru agar sukses mendidik generasi terkini sehingga para guru layak berstatus guru masa kini? Pertama, guru harus menguasai setiap perubahan materi dalam kurikulum. Penguasaan ini akan mempermudah penguasaan para siswa ketika pembelajaran di kelas. Jika sebaliknya, para siswa akan semakin bingung. Hal ini akan berdampak buruk bagi penguasaan materi selanjutnya. Sebagai contoh, di beberapa sekolah, guru masih saja membebani siswa dengan begitu banyak tugas di rumah tanpa memberikan bimbingan ketika pembelajaran di kelas. Kejadian kasus ini tentu saja karena oknum guru kurang/tidak menguasai perubahan materi kurikulum. Kedua, guru harus menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Penguasaan bahasa Indonesia yang dimaksud di sini adalah penguasaan secara lisan dan tulisan. Selain itu, para guru pun selayaknya menguasai aspek historis bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ini sangat penting dalam rangka memperkuat pembentukan karakter siswa untuk memperkuat persatuan Indonesia. Dalam K-13, kedudukan bahasa Indonesia sangat penting, yaitu sebagai penghela dan pengantar keilmuan. Penguasaan bahasa Indonesia oleh para guru akan berdampak positif terhadap penguasaan bahasa Indonesia oleh siswa. Paling tidak, para guru akan mengilhami siswa untuk menguasai keterampilan berbahasa Indonesia. Ketiga, guru harus menguasai teknologi komputer dan daring (internet). Dengan penguasaan teknologi komputer dan daring, paling tidak, guru bisa mengimbangi kemampuan siswa sebagai generasi digital natif. Hal ini untuk menghindari kesan kampungan di kalangan guru. Keempat, guru harus memotivasi diri sendiri untuk terus maju dan berprestasi dalam mendidik. Upaya memotivasi diri sendiri sangat besar pengaruhnya bagi kehendak untuk memperbarui diri sendiri. Ini sangat penting tatkala motivasi eksternal tidak kita dapatkan. Kelima, melalui komunitas, guru harus mengaktifkan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan model pembelajaran terkini. Sikap-sikap negatif pembelajaran masa lalu sudah semestinya menjadi pembelajaran masa kini.
Menjadi guru masa kini bukanlah semudah yang kita bayangkan. Namun, hal ini bukanlah pula sesuatu yang mustahil. Perbedaan generasi dan zaman selalu saja menjadi alasan pembenaran yang menyesatkan dalam dunia pendidikan. Kemajuan (pendidikan) tidak mengenal alasan-alasan sebagai pembenaran. Kalaulah alasan-alasan pembenaran ini terus terjadi, guru kita akan semakin tertinggal. Akhirnya, dunia pendidikan kita pun tidak bisa menjamin masa depan bangsa dan negara. Mengerikan!***
Musa Ismail dilahirkan di Pulau Buru Karimun, 14 Maret 1971. Karyanya adalah kumpulan cerpen "Sebuah Kesaksian" (2002), esai sastra-budaya "Membela Marwah Melayu" (2007), novel "Tangisan Batang Pudu" (2008), kumpulan cerpen "Tuan Presiden, Keranda, dan Kapal Sabut" (2009), kumpulan cerpen "Hikayat Kampung Asap" (2010), novel "Lautan Rindu" (2010), kumpulan cerpen "Surga yang Terkunci" (2015), dan novel ”Demi Masa” (2017). Pernah meraih Anugerah Sagang kategori buku pilihan (2010) dan peraih Anugerah Pemagku Prestasi Seni Disbudpar Provinsi Riau (2012). Puisi-puisinya terjalin dalam beberapa antologi karya pilihan harian Riau Pos, antologi "Setanggi Junjungan" (FAM Publishing, 2016), antologi puisi HPI "Menderas sampai ke Siak" (2017), dan "Mufakat Air" (2017).
Guru Masa Kini
(Renungan Tahun Pelajaran Baru)
Oleh Musa Ismail
(ASN di Dinas Pendidikan Bengkalis)
Guru Indonesia masa kini merupakan guru yang sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013 (K-13). Ibarat memasak, K-13 sudah melalui beberapa proses. Sejak pertama kali diluncurkan pada 2013, kurikulum ini mengalami perbaikan demi perbaikan. Tidak hanya perbaikan, K-13 pun sempat diberhentikan sementara karena pertimbangan berbagai hal pula. Yang jelas, K-13 mengalami proses seperti memasak itu di tangan tiga Mendikbud, yaitu M. Nuh, Anies Baswedan, dan Muhajir Effendi. Proses demi proses untuk penyempurnaan itu memunculkan efek domino pada standar isi, standar proses pembelajaran, dan kompetensi guru. Guru merupakan sosok juru masak utama untuk mengemas kurikulum ini sebagai masakan yang siap saji. Sedap atau tidaknya masakan tersebut akan berakibat kepada siswa sebagai raja utama yang mesti dilayani. Sehebat apa pun kurikulum tidak akan bermakna jika guru kurang memberikan sentuhan didaktis-inovatif. Sentuhan didaktis-inovatif ini sejatinya dilakukan dalam proses administratif dan implementatif di kelas.
Dalam pernyataan, kita sering mendengar bahwa guru merupakan ujung tombak. Guru bukanlah ujung tombak. Eksistensi guru masa kini adalah pemegang tombak. Guru merupakan pengendali sarana/tombak untuk mengenai sasaran yang akan dicapai. Eksistensi guru di sini bukanlah sebagai pengekang kreativitas siswa, tetapi guru lebih banyak berperan sebagai pembimbing. Di tangan gurulah, tombak akan diarahkan. Tombak merupakan simbol dari keberadaan siswa yang kompleks dengan keunikannya masing-masing. Kemampuan guru mengarahkan dan melemparkan tombak akan memicu ketepatan tombak untuk melesat pada sasarannya. Dalam hal ini, Kahlil Gibran mengibaratkan guru dan siswa sebagai busur dan anak panah dalam puisinya berjudul Anakmu Bukanlah Milikmu: Kaulah busur/Dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur. Umar bin Khattab menegaskan, ”Didiklah anak-anak kita sesuai dengan zamannya.” Apa yang telah ditegaskan Gibran dan Khattab, oleh Jhon Dewey diulang kembali dengan redaksi berbeda, yaitu ’’Jika kita mengajar anak-anak kita sebagaimana yang kita lakukan kemarin, sama saja kita merampas masa depan mereka (If we teach our children as we did yesterday, we rob them of the future).
Bukan hanya kurikulum yang akan selalu diperbarui dan diperbaiki. Cabaran zaman pun menuntut guru untuk memperbarui (update) diri. Upaya memperbarui diri di kalangan guru ini sangat penting. Hal ini dikarenakan guru berhadapan dengan generasi digital natif (digital native generation). Pakar pendidikan Barat, Prensky mengatakan bahwa generasi digital natif adalah mereka yang sejak lahir telah dilingkupi oleh berbagai macam peralatan digital seperti komputer, videogame, digital, music player, kamera video, telepon seluler, serta berbagai macam boneka dan perangkat yang khas era digital. Mereka sangat fasih dengan bahasa teknologi digital dan internet.
Saat ini, dalam beberapa tahun, semua akan terlihat usang (konvensional=ketinggalan zaman). Penyebabnya adalah pesatnya kemajuan teknologi informasi melalui dunia digital. Dengan kenyataan ini, bukan hanya sekolah, tetapi guru pun harus merevolusi diri. Revolusi diri ini bisa saja dilakukan melalui jalur pengembangan keprofesian berkelanjutan. Jalur ini bisa dilakukan melalui komunitas mata pelajaran yang saat ini sedang dikembangkan Kemdikbud untuk mengaktifkan kegiatan MKKS, MGMP, dan KKG di setiap jenjang pendidikan. Komunitas mata pelajaran ini dikembangkan dengan basis daring (dalam jaringan). Para guru yang tidak memperbarui diri dengan kondisi ini akan mengalami kendala. Kondidi seperti ini tidak bisa dielak karena adanya perbedaan generasi dan perkembangan zaman dunia pendidikan dalam sistem kebudayaan. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara ketika merumuskan pengertian kebudayaan. Menurutnya, kebudayaan merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yaitu alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Ini bermakna—mau tidak mau—para guru dituntut mampu berjuang antara pengaruh alam dan zaman. Jika tidak mampu, guru akan mengalami berbagai kesukaran dalam mendidik generasi digital natif.
Nah, apa yang harus dilakukan para guru agar sukses mendidik generasi terkini sehingga para guru layak berstatus guru masa kini? Pertama, guru harus menguasai setiap perubahan materi dalam kurikulum. Penguasaan ini akan mempermudah penguasaan para siswa ketika pembelajaran di kelas. Jika sebaliknya, para siswa akan semakin bingung. Hal ini akan berdampak buruk bagi penguasaan materi selanjutnya. Sebagai contoh, di beberapa sekolah, guru masih saja membebani siswa dengan begitu banyak tugas di rumah tanpa memberikan bimbingan ketika pembelajaran di kelas. Kejadian kasus ini tentu saja karena oknum guru kurang/tidak menguasai perubahan materi kurikulum. Kedua, guru harus menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Penguasaan bahasa Indonesia yang dimaksud di sini adalah penguasaan secara lisan dan tulisan. Selain itu, para guru pun selayaknya menguasai aspek historis bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ini sangat penting dalam rangka memperkuat pembentukan karakter siswa untuk memperkuat persatuan Indonesia. Dalam K-13, kedudukan bahasa Indonesia sangat penting, yaitu sebagai penghela dan pengantar keilmuan. Penguasaan bahasa Indonesia oleh para guru akan berdampak positif terhadap penguasaan bahasa Indonesia oleh siswa. Paling tidak, para guru akan mengilhami siswa untuk menguasai keterampilan berbahasa Indonesia. Ketiga, guru harus menguasai teknologi komputer dan daring (internet). Dengan penguasaan teknologi komputer dan daring, paling tidak, guru bisa mengimbangi kemampuan siswa sebagai generasi digital natif. Hal ini untuk menghindari kesan kampungan di kalangan guru. Keempat, guru harus memotivasi diri sendiri untuk terus maju dan berprestasi dalam mendidik. Upaya memotivasi diri sendiri sangat besar pengaruhnya bagi kehendak untuk memperbarui diri sendiri. Ini sangat penting tatkala motivasi eksternal tidak kita dapatkan. Kelima, melalui komunitas, guru harus mengaktifkan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan model pembelajaran terkini. Sikap-sikap negatif pembelajaran masa lalu sudah semestinya menjadi pembelajaran masa kini.
Menjadi guru masa kini bukanlah semudah yang kita bayangkan. Namun, hal ini bukanlah pula sesuatu yang mustahil. Perbedaan generasi dan zaman selalu saja menjadi alasan pembenaran yang menyesatkan dalam dunia pendidikan. Kemajuan (pendidikan) tidak mengenal alasan-alasan sebagai pembenaran. Kalaulah alasan-alasan pembenaran ini terus terjadi, guru kita akan semakin tertinggal. Akhirnya, dunia pendidikan kita pun tidak bisa menjamin masa depan bangsa dan negara. Mengerikan!***
Musa Ismail dilahirkan di Pulau Buru Karimun, 14 Maret 1971. Karyanya adalah kumpulan cerpen "Sebuah Kesaksian" (2002), esai sastra-budaya "Membela Marwah Melayu" (2007), novel "Tangisan Batang Pudu" (2008), kumpulan cerpen "Tuan Presiden, Keranda, dan Kapal Sabut" (2009), kumpulan cerpen "Hikayat Kampung Asap" (2010), novel "Lautan Rindu" (2010), kumpulan cerpen "Surga yang Terkunci" (2015), dan novel ”Demi Masa” (2017). Pernah meraih Anugerah Sagang kategori buku pilihan (2010) dan peraih Anugerah Pemagku Prestasi Seni Disbudpar Provinsi Riau (2012). Puisi-puisinya terjalin dalam beberapa antologi karya pilihan harian Riau Pos, antologi "Setanggi Junjungan" (FAM Publishing, 2016), antologi puisi HPI "Menderas sampai ke Siak" (2017), dan "Mufakat Air" (2017).
Tulis Komentar